Sabtu, 13 Agustus 2011

Kerasnya Kehidupan di Balik Pelabuhan Sunda Kelapa

12998527311837005912
Kapal Phinisi
Waktu menunjukkan pukul 05.00 wib saat kami tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.  Suasana masih sepi mataharipun masih belum keluar dari peraduannya, hanya tampak beberapa aktivitas warga sekitar yang nongkrong dipinggir jalan sebelum pintu masuk Pelabuhan Sunda Kelapa sambil membuka tutup jalan dengan memungut iuran liar meskipun suka rela dari para pengendara kendaraan bermotor.
Maha Patih Gadjah Mada
Maha Patih Gadjah Mada
Ini pertama kalinya saya datang ke tempat ini, saya begitu terpukau dengan keberadaan Kapal- kapal Phinisi yang tertambat di pelabuhan yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Jadi ingat sebuah lagu tentang “Nenek Moyangku seorang Pelaut” mungkin benar bahwa petualang samudera yang paling hebat adalah Nenek Moyang kita terdahulu. Seperti Patih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit dengan semangat juangnya menaklukkan Kerajaan - kerajaan lain untuk mempersatukan bumi nusantara ini. Menjelajah bumi nusantara dengan kapal dan prajurit- prajurit yang tidak pernah mengenal lelah.
Konon Pelabuhan Sunda Kelapa ini merupakan cikal bakal dari kota Jakarta berdasarkan sumber dari Simbah Google Pelabuhan Sunda Kelapa ini telah dikenal semenjak abad ke- 12 dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda  yang beribukota di Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan para penjelajah Eropa, Sunda Kelapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini mengganti nama-nama pelabuhan Sunda Kelapa dan daerah sekitarnya. Namun pada awal tahun 1970-an, nama kuno “Sunda Kelapa” kembali digunakan sebagai nama resmi pelabuhan tua ini. Di masa sekarang Pelabuhan ini menjadi kawasan wisata karena nilai sejarahnya yang tinggi dan menjadi salah satu pelabuhan yang dikelola oleh PT Pelindo  yang tidak disertifikasi International Ship and Port Security karena sifat pelayanan jasanya hanya untuk kapal antar pulau.
kembali ke cerita.. :D
12998540171369905377
Aktivitas para ABK dan Buruh panggul
Sinar matahari sudah mulai tampak dari kejauhan, namun sayang cuaca tidak mendukung sehingga kami tidak bisa menikmati Sang Matahari keluar dari singgasananya. Kicau burung samar- samar terdengar menghiasi langkahku berkeliling di Pelabuhan ini. Tampak beberapa lelaki paruh baya mulai beraktivitas bongkar muat barang di badan kapal. Saya begitu penasaran dengan balok kayu yang dipasang dari kanal sampai badan kapal yang dijadikan jembatan penyeberang menuju kapal.  Jadi, saya dengan penuh keberanian mencoba menyeberangi balok kayu tersebut menuju badan kapal walaupun sedikit takut kalau jatuh dari balok kayu tersebut karena pasti saya akan tercebur jatuh kedalam laut.
Pemandangan dari atas kapal cukup mengesankan apalagi saat saya melihat layar yang mulai terkembang jadi ingat dengan film- film perompak atau bajak laut “The Pirates of  Carribean” yang cukup terkenal. Sedikit berkhayal tingkat tinggi sambil  mengabadikan moment ini di atas kapal.
Saya begitu kagum dengan kemegahan kapal- kapal phinisi dan sejarah pelabuhan ini namun sayang kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah padahal kalau dikembangkan tempat ini bisa menjadi tempat wisata yang menarik karena kita bisa mengamati aktivitas para buruh dan para ABK ( Anak Buah Kapal) secara langsung, berkeliling di Pasar ikan hingga wisata sejarah di Museum Bahari yang terkenal dengan Menara Syahbandarnya yang dibangun pada tahun 1839, yang didirikan di bekas bastion (benteng) Culemborg yang merupakan tembok kota Batavia.
12998541331621955412
Menara Syahbandar
Menurut cerita dari Bapak Penjaga yang saya lupa namanya, Menara ini merupakan titik nol kilometer kota Jakarta dan uniknya menara setinggi 18 meter dengan panjang 10 meter dan lebar 6 meter ini ternyata miring, dari  hasil  pengukuran yang dilakukan pada tahun 2001, menara ini dinyatakan  miring dengan sudut kemiringan 2°15′54″ ke arah selatan dan 0°15′58″ ke arah barat. Jadi ingat Menara Miring Pisa di Italia,,,hahahaa..
Dari atas menara saya bisa melihat pemandangan sekeliling, barisan kapal- kapal Phinisi yang berjajar sangat rapi hingga aktivitas para pedagang dan pembeli di pasar ikan. Sungguh pemandangan yang sangat luar biasa.
Sayang pemandangan ini tidak berlangsung lama, saya tertegun dengan keadaan yang terbalik. Di ujung kota Jakarta ini, sebuah kota yang cukup terkenal sebagai Ibukota Negara dan kota Metropolitan tampak dengan jelas kesenjangan sosial itu membuat saya tertarik untuk melihat dengan jelas, menyusuri perkampungan di sekitar pelabuhan ini yang bermuara di  Sungai Ciliwung.
Aroma Sungai Ciliwung yang khas menusuk hingga kedalam perut, membuat saya mual dan harus menahan nafas berkali- kali. Saya salut dengan masyarakat sekitar yang tetap bertahan di sekitar tempat ini dengan keadaan yang menurut saya sungguh jauh dari titik kenyamanan atau tak layak tinggal. Bagaimana tidak, tanah yang saya tapaki bukan lagi tanah seperti di tempat lain tapi berupa gundukan sampah yang sudah bertahun- tahun atau mungkin sudah berpuluh- puluhan tahun hanya sampah plastik yang masih muncul diantara tanah.
12998543781817575934
Seorang pekerja pengais sampah
Anda bisa membayangkan sendiri keadaan ini, tanah yang sudah tercemar oleh sampah begitu pula dengan air yang  bersumber dari Sungai Ciliwung ini. Bahkan dibawah jembatan saya melihat sebuah pondokan atau rumah yang dibuat dengan bahan seadanya dan terlihat seorang wanita sedang mencuci peralatan makan dengan air dari Sungai Ciliwung ini. Sungguh diluar dugaan saya, karena selama ini saya hanya bisa melihat dari siaran di Televisi tapi sekarang saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana mereka hidup dibalik kerasnya kehidupan di Kota Jakarta.
Walaupun mereka harus mengais rejeki dari sampah- sampah yang ada disekitar sungai. Mungkin bagi kita sampah tetaplah sampah yang tidak ada gunanya namun bagi mereka sampah ini layaknya sebuah emas. Dengan rakit yang terbuat dari bambu, mereka mengais sampah- sampah disekitar bantaran kali dan mengumpulkannya yang kemudian ditukar pada pengepul untuk ditukar menjadi beberapa lembar uang Rupiah.
Sungguh tragis memang ketika pekerjaan yang mereka lakukan bahkan keberadaan mereka dipandang sebelah mata padahal menurut saya apa yang mereka lakukan mungkin cukup membantu Dinas Kebersihan Kota dalam mengatasi masalah sampah yang selalu menjadi topik hangat dimedia massa walaupun sebenarnya keberadaan pemukiman mereka yang tidak teratur. Namun mereka juga tidak bisa disalahkan dengan keadaan seperti ini, Pemerintah dengan janji- janjinya menyediakan pemukiman penduduk yang nyaman dan murah dengan adanya rumah susun pun sampai sekarang masih belum terealisasi 100% hanya beberapa persen saja yang yang sudah jadi bahkan yang lainnya menjadi gedung- gedung kosong setengah jadi karena bermasalah baik terbentur  Ijin Pemerintah Daerah hingga dari Perusahaan Contractornya.
Perjalanan kali ini sungguh perjalanan yang luar biasa. Saya harap suatu saat ketika saya kembali lagi kesana, tak ada lagi tanah sampah dan aroma Sungai Ciliwung yang menggiringi perjalanan saya.. Dan berharap Pemerintah tidak hanya pusing memikirkan Koalisi Partai yang penuh dengan konspirasi politik dan kolusi sehingga mereka sejatinya bekerja untuk rakyat yang dipandang sebelah mata sehingga dapat dipandang dengan utuh dan mendapat kehidupan yang layak.
Memory, 02  Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar